Friday, May 25, 2007

Persaingan Mazhab


Persaingan Mazhab

Bedah Bukuh: Prof. Dr. Sulaiman Dunya

Resensi buku

Sekali lagi, tidaklah sepatutnya kita beranggapan bahwa hanya ini; tidak ada selainnya. Sebab, tidak ada alasan untuk bersikap fanatik, pun tidak ada dalih untuk berlaga menantang, karena Syi’ah sebagaimana Ahli Sunnah; mereka adalah Muslimin. Perselisihan pendapat mereka dengan Ahli Sunnah hanya seputar persoalan-persoalan yang masih berada di bawah dataran prinsip agama. Maka itu, Syi’ah adalah saudara Muslim seiman, dan kepeloporan mereka dalam merintis sebagian bidang ilmu tak ubahnya dengan keunggulan seorang saudara di atas saudara lainnya. Dan bagaimanapun, fakta ini menumbuhkan semangat bersaing dan gairah kompetisi, tanpa menciptakan dampak negatif semacam kecurigaan, permusuhan dan pertikaian.

------------------------------------------------

Segala puji dan syukur hanya kepada Allah; Tuhan alam semesta. Shalawat dan salam atas Rasulullah, sebaik-baiknya makhluk, dan atas keluarganya yang suci nun mulia, serta atas segenap sahabatnya.

Amma ba'du. Beberapa waktu yang lalu, saya telah menulis sebuah risalah sederhana di bawah judul “Antara Syi’ah dan Ahli Sunnah”; risalah yang menyimpan harapan yang besar dan keinginan yang kuat agar terjalin pertalian antara Syi’ah dan Ahli Sunnah atas dasar prinsip-prinsip persaudaraan, pertalian cinta-kasih dan solidaritas, sekaligus mencerabut benih-benih perpecahan yang telah ditanamkan oleh musuh-musuh kedua mazhab ini ke dalam jiwa-jiwa setiap penganutnya. Masih di dalam risalah yang sama, saya menyerukan supaya setiap mazhab memandang perspektif mazhab lainnya selayaknya orang alim yang sedang mencari kebenaran, dan menyadari bahwa hanya kebenaranlah yang sepatutnya diikuti.

Telah saya katakan di sana bahwa semangat yang kita warisi dari leluhur saleh kita yang terdahulu itu telah menekankan keharusan komitmen pada kebenaran di mana pun, dan menerangkan bahwa kebanaran adalah pusaka berharga seorang mukmin yang hilang yang akan ia ambil di mana pun ia menemukannya, meskipun jatuh dari mulut orang kafir. Mereka menegaskan kepada kita bahwa orang yang berakal tidak akan menentukan kebenaran atas dasar figur seseorang, akan tetapi atas dasar bukti dan argumentasi. Maka dengan mengenal kebenaran, ia juga akan mengenal orang-orang yang benar.

Oleh karena itu, telah menjadi keharusan atas kita sebagai generasi penerus mereka, supaya senantiasa mencari kebenaran, berpegang teguh padanya, mempersiapkan diri dalam rangka menyampaikan pesan-pesannya dan bergerak di sekitar porosnya, tanpa lagi memandang siapa yang menyerukannya kepada kita.

Tentunya, dapat dimaklumi oleh orang-orang yang berakal bahwa perkara-perkara yang secara yakin masih belum diketahui selalu menjadi titik silang pendapat. Begitu pula, sikap saling menghormati setiap pendapat oleh setiap pengkaji dalam segala persoalan yang membuka pelbagai macam benturan pemikiran adalah sebuah keharusan. Maka itu, mereka dapat saja berselisih pandangan namun, pada saat yang sama, duduk sejajar sebagai sahabat-sabahat yang baik. Semoga Allah swt. melimpahkan rahmat kepada seseorang yang mengatakan: "Selisih pendapat tidaklah meng-ancam jalinan cinta".

Sesungguhnya Islam adalah agama yang menjunjung semangat toleransi dan keterbukaan sebegitu tingginya. Al-Quran menyatakan:

"Dan berserulah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan sebaik-baiknya cara".

Bila seseorang ingin menikmati kebebasan dirinya dan mengekspresikan hasil-hasil kajian dan pikirannya, tidaklah sepatutnya memungkiri hak kebebasan orang lain untuk berbicara dan mengungkapkan hasil-hasil pemikiran dan pencarian intelektualnya.

Dan cukuplah sebuah kebanggaan bagi kaum Muslim tatkala mereka bersatu dan mufakat di atas prinsip-prinsip agama. Tampak begitu jelas; bagaimana prinsip ketuhanan menempati puncak sakralitas di dalam jiwa-jiwa Muslim, bagaimana prinsip Hari Kebangkitan, prinsip Kenabian dan kebergantungan umat manusia kepada prinsip-prinsip ini serta penutupan silsilah kenabian oleh Tuan umat manusia, Muhammad bin Abdillah saw., bagaimana mereka semua mempercayai kebenaran Al-Quran Al-Karim dan hadis-hadis sahih dari Rasulullah saw. Semua prinsip kepercayaan agama ini terpatri kuat di dalam dada dan jiwa segenap umat Islam. Kehormatan dan sakralitas tiap-tiap prinsip itu tak terimbangi oleh sakralitas dan fanatisme agama apapun pada jiwa para penganutnya.

Semua di atas tadi telah saya sampaikan―bahkan lebih intensif lagi―dalam risalah sederhana "Antara Syi’ah dan Ahli Sunnah", meskipun di dalam risalah ini saya belum sempat menuliskan apa yang ingin aku ungkapkan lantaran pertimbangan kondisi proses penyetakan kala itu.

******

Dan kini adalah sebuah kebahagian besar bagi saya; yaitu diberi kesempatan guna membubuhkan kata pengantar untuk sebuah karya Sayyid Hasan Abu Muhammad, yang berjudul “Al-Syi’ah wa Funun Al-Islam” (buku bibliografi yang meneliti mencapaian peradaban Syi’ah dan Ilmu-ilmu Keislaman, red.). Di dalamnya, beliau membuka sebentang cakrawala yang barangkali masih asing bagi kebanyakan masyarakat Ahli Sunnah.

Pada mulanya, saya ingin sekali mempelajari buku ini secara objektif, sehingga berdasarkan sejumlah data dan argumentasi, akan tampak jelas nilai kebenaran duduk persoalan yang tengah diupayakan oleh penulisnya untuk ditangani. Namun, saya mendapatkan buku ini justru di atas kapasitas dan kualifikasi saya sendiri, sebab penulis ra. memiliki wawasan pengetahuan yang luas dan kekayaan data yang melimpah, sehingga beliau mampu memetakan semua ilmu-ilmu Islam dan Arab, memberikan klaim dan penilaian selayaknya seorang yang menguasai seluk beluknya, menggali kandungan rahasianya, membongkar faktor-faktor kelahirannya dan melacak tahap-tahap perkembangannya.

Pada dasarnya, setiap jenjang ilmiah di atas menuntut keterlibatan sejumlah kelompok pakar dalam setiap ilmu tersebut, sehingga masing-masing pakar meneliti materi penelitiannya, lalu penulis yang mulia menerimanya atas dasar bukti, sebagaimana ia pun dapat menolaknya atas dasar bukti pula.

Dan seandainya saya tidak lagi sempat berkecimpung di bidang ini dan mencermati subjek buku ini secara kritis lantaran kepercayaan saya pada kesungguhan para pakar yang begitu besar dalam mempelajari buku ini, tentu saya akan kecewa bila saja saya kehilangan kesempatan guna menorehkan sebuah kalimat yang saya anggap sebagai pendalaman atas apa yang telah tertulis di dalam risalah saya; "Antara Syi’ah dan Ahli Sunnah". Kalimat itu ialah bahwa penulis yang mulia ra. mengklaim Syi’ah sebagai pelopor dalam merintis ilmu-ilmu agama dan Arab, lalu beliau membawakan bukti-bukti pendukung. Oleh sebab itu, buku ini berkisar pada penguraian klaim ini dan pema-paran argumentasinya.

Sementara di hadapan klaim tersebut, pembaca berada di antara dua sikap:

Sikap pertama adalah sikap kaum pelajar, yaitu mereka yang tidak peduli terhadap peletak dan penggagas suatu bidang ilmu, dan hanya sibuk mempelajari materi-materi ilmu itu sendiri. Bagi mereka, tidaklah penting identitas para penggagas ilmu-ilmu; apakah ilmu itu hasil kreatifitas Muslim Syi’ah saja, atau hasil kreatifitas Muslim Sunni saja, atau hasil kerja sama mereka berdua.

Sikap kedua adalah sikap kaum terpelajar, yaitu mereka yang selain mempelajari ilmu-ilmu itu sendiri, juga mengamati kelahiran dan para penggagasnya serta tahap-tahap per-kembangan yang dilaluinya. Karena, semua bidang ilmu mempunyai awal pembentukan dan perumusannya, persis dengan awal kelahiran tokoh-tokoh besar. Maka dari itu, setiap ilmu memiliki latar belakang sejarah sebagaimana akar sejarah kelahiran para tokoh besar tersebut.

Kepada kaum terpelajar saya katakan, bahwasanya buku ini merupakan usaha keras yang patut disyukuri. Penulisnya telah mengetengahkan buku tersebut kepada dunia Islam sebagai langkah partisipasi dalam mengemban tugas yang semestinya dipikul oleh para ulama Islam. Itulah sejarah ilmu-ilmu keislaman dan sejarah ilmu-ilmu lain yang ditu-runkannya.

Untuk itu, tidaklah pantas membalas budi usaha keras dan besar ini dengan cara pandang yang dangkal yang berdasar pada sikap acuh atau sinis. Tidaklah sepatutnya kita mengatakan, misalnya, bahwa usaha ini hanyalah fanatisme, atau penantangan, atau apa saja yang senada dengan kata-kata ini, sebagaimana yang digunakan sebagai alasan pembenaran diri oleh orang yang tidak mengingin-kan dirinya terlibat di dalam jerih penelitian.

Sekali lagi, tidaklah sepatutnya kita beranggapan bahwa hanya ini; tidak ada selainnya. Sebab, tidak ada alasan untuk bersikap fanatik, pun tidak ada dalih untuk berlaga menantang, karena Syi’ah sebagaimana Ahli Sunnah; mereka adalah Muslimin. Perselisihan pendapat mereka dengan Ahli Sunnah hanya seputar persoalan-persoalan yang masih berada di bawah dataran prinsip agama. Maka itu, Syi’ah adalah saudara Muslim seiman, dan kepeloporan mereka dalam merintis sebagian bidang ilmu tak ubahnya dengan keunggulan seorang saudara di atas saudara lainnya. Dan bagaimanapun, fakta ini menumbuhkan semangat bersaing dan gairah kompetisi, tanpa menciptakan dampak negatif semacam kecurigaan, permusuhan dan pertikaian.

Oleh kerena itu, kita tidak punya selain dua pilihan berikut ini:

Pertama, menundukkan kepala sebagai rasa syukur dan penghargaan atas usaha keras yang telah dicurahkan oleh penulis yang mulia, dan atas hasil-hasil penelitian yang telah dicapainya.

Kedua, membalas usaha keras penulis dengan cara dan kerja serupa, serta menawarkan hasil-hasil penilitian yang diraih, berikut bukti-bukti yang kuat dan argumentasi yang dapat diterima.

Selanjutnya, saya menghadapkan diri kepada Allah; Dzat Yang Maha Kuasa, sambil berharap semoga Dia menyucikan jiwa-jiwa dari noda-noda yang mencemari mereka dan menggantikannya dengan benih-benih cinta, ketulusan dan persaudaraan, mengembalikan persatuan kepada Muslimin, memahamkan agama kepada mereka, mengingatkan akibat dari setiap urusan mereka, memberikan taufik-Nya kepada mereka sehingga tertuntun di bawah hidayah Islam dalam kehidupan pribadi dan sosial mereka, dan mengaruniakan inayah-Nya pada mereka agar dapat menyampaikan ajaran agama kepada umat manusia dengan mengamalkannya dan menjaga hukum-hukumnya sebagai bukti yang kuat atas keindahan dan kesempurnaannya.

Di akhir pengantar ini, tidak ada yang layak saya sampaikan selain ungkapan terima kasih kepada saudara yang terhormat, Sayyid Murtadha Ar-Radhawi, pemilik perpustakaan An-Najah di kota Najaf-Republik Irak, atas usaha-usahanya yang mulia dalam menebarkan ilmu dan memperkenalkan khazanah-khazanah yang selama ini terpendam, juga atas kesempatan yang diberikan kepada saya sehingga saya dapat mengetahui karya ilmiah yang berharga ini.

Saya percaya bahwa buku ini akan menjadi subjek penelitian yang amat berarti bagi kaum pelajar dan terpelajar seketika edisi penerbitan terbarunya sampai di tangan mereka, insyaallah. [disadur dari pengantar penulis untuk karya tersebut].[afh]


Penulis: Guru Besar Filsafat dari Fakultas Usuluddin di Universitas Al-Azhar, Cairo-Mesir.

Persatuan Islam


Persatuan Islam?

Tidak sedikit ulama Islam dari berbagai mazhab berbicara tentang persatuan umat Islam. Sebuah semboyan yang punya akar dalam al-Quran dan as-Sunah. Tidak hanya berbicara tentang persatuan tapi sebagian ulama menjadikannya sebagai semboyannya dan mengajak kaum muslimin untuk bersatu. Pertanyaannya, persatuan yang seperti apa yang diinginkan?

Imam Khomeini ra menetapkan tanggal 12- 17 Rabiul Awal sebagai pekan persatuan. Penetapan ini dengan alasan bahwa menurut pendapat Ahli Sunah, Rasulullah saw lahir pada tanggal 12 Rabiul Awal, sementara Syiah meyakini beliau lahir pada tanggal 17 Rabiul Awal. Ini satu contoh bahwa persatuan yang diinginkan oleh Imam Khomeini ra tidak statis hanya sebatas wacana, namun telah melangkah keluar menjadi sebuah sikap.

Setiap ulama punya cara tersendiri dalam menyikapi apa yang disebut sebagai persatuan. Di sini akan dijelaskan sedikit mengenai apa yang disebut persatuan umat Islam.

Ada beberapa gambaran dari persatuan umat Islam:

1. Persatuan dengan jalan menutup mata dari kenyataan sejarah.

Sangat mungkin dipahami dari persatuan kaum muslimin adalah menutup mata dari kenyataan sejarah. Bahwa sejarah Islam pernah mencatat kejadian-kejadian yang kelak menjadi prinsip sebuah akidah.

Persatuan dengan pemahaman seperti ini, memiliki dampak-dampak positif dan memberikan hasil yang baik. Namun, persatuan yang lahir dari cara pandang seperti ini adalah sebuah persatuan pemanis bibir dan tidak mendalam. Mengajak orang bersatu dengan berusaha menutup mata dari kenyataan sejarah dapat memberikan hasil hanya untuk sementara waktu. Persatuan model ini tidak akan bertahan lama dan langgeng. Karena orang tidak dapat memenjarakan pikiran orang lain. Bahkan lebih dari itu, problema yang dihadapi oleh umat Islam tidak dapat diselesaikan dengan baik tanpa melihat kenyataan sejarah. Cepat atau lambat, kenyataan sejarah itu akan muncul kembali.

Ulama juga tidak melihat ini sebagai cara terbaik dalam usaha mewujudkan persatuan umat Islam, sekalipun tidak melupakan bahwa dalam kondisi tertentu ide ini dapat memberikan solusi.

2. Persatuan dengan mengorbankan akidah.

Makna lain dari persatuan umat Islam adalah setiap mazhab Islam yang ada mengorbankan sebuah prinsip akidahnya demi mewujudkan sebuah persatuan. Sebagian dari akidah yang dimiliki dikorbankan demi sebuah persatuan Islam.

Persatuan dengan model seperti ini bukan termasuk solusi yang baik. Karena siapa saja yang meyakini kebenaran sebuah akidah, tidak akan meninggalkannya. Orang yang merasa bahwa akidahnya benar tidak akan mengorbankannya dengan alasan apapun. Apa lagi bila ia harus mengorbankannya atas sebuah keyakinan yang dianggap tidak benar.

Ulama tidak melihat ini sebagai jalan keluar yang baik dalam merumuskan substansi persatuan kaum muslimin.

3. Persatuan mazhab dan bukan Islam.

Slogan persatuan dapat juga diartikan sebagai persatuan antar mazhab dan bukan persatuan Islam. Hal ini dapat terwujudkan dengan pengikut setiap mazhab menjadikan sebuah mazhab sebagai ikutan bagi yang lain. Dengan disepakatinya sebuah mazhab dari mazhab-mazhab yang ada, mazhab yang lain lenyap dan bergabung dengan mazhab yang telah disepakati. Salah satu tolok ukurnya dapat dijadikan mazhab mayoritas sebagai mazhab yang disepakati bersama dan dengan sendirinya, mazhab-mazhab yang tidak punya pengikut mayoritas bergabung di dalamnya.

Cara pandang persatuan dengan model ini juga tidak akan menyelesaikan masalah dari akarnya. Masalahnya bukan seseorang mengikuti mazhab lain, tapi masalahnya adalah setiap mazhab mengakui secara resmi mazhab lain. Dalam pengakuan secara resmi inilah persatuan Islam dapat ditumbuhkan dengan hubungan timbal balik yang lebih baik. Komunikasi menjadi lebih mudah dan bersahabat. Dengan ini, perpecahan yang selama ini ada dapat diminimalkan.

4. Persatuan dalam sikap politik.

Pendekatan lain dalam melihat persatuan kaum muslimin adalah persatuan dalam sikap politik. Dalam kebijakan-kebijakan praktis menghadapi musuh, kaum muslimin hendaknya bersatu. Umat Islam bersatu dalam sebuah barisan dalam menghadapi musuh Islam.

Seringnya perselisihan dan konflik dalam tubuh umat Islam tidak memiliki akar masalah yang benar. Seringnya itu merupakan konspirasi musuh-musuh Islam agar lupa akan masalah yang sebenarnya. Dengan demikian, mengambil satu sikap dalam menghadapi musuh Islam merupakan sebuah keharusan. Itulah mengapa ulama Islam menerima model persatuan yang seperti ini. Karena persatuan model ini dapat melindungi Islam dan dunia Islam. Kebanyakan semboyan-semboyan yang diucapkan oleh para penyeru persatuan merujuk ke makna ini.

5. Persatuan dalam mendekatkan pemikiran.

Sebuah makna lain dari persatuan kaum muslimin adalah pendekatan. Dalam hal ini, persatuan tidak dipakai dalam makna literalnya. Karena memang tidak ada persatuan dalam arti bersatu atau menjadi satu. Persatuan yang seperti ini hanya berusaha untuk mendekatkan pemikiran setiap mazhab yang ada. Dengan artian, ada usaha untuk saling melakukan kajian dan dialog dengan tidak mengikutkan fanatik buta. Cara ini dapat mencairkan sebagian besar dari perselisihan yang ada di kalangan kaum muslimin.

Persatuan dan pendekatan pemikiran berbeda dengan penafsiran pertama tentang persatuan Islam. Di sini, setiap mazhab yang ada punya hak untuk tetap meyakini kebenaran akidahnya, namun kerancuan pemahamannya tentang mazhab lain dapat diselesaikan lewat kajian dan dialog yang sehat. Penafsiran ini lebih moderat dari penafsiran pertama dan karenanya, banyak ulama yang memaknai persatuan seperti ini.

Merenungi kembali makna-makna persatuan Islam, makna keempat dan lima merupakan pemaknaan yang lebih bisa diterima. Dalam tataran wacana dan teori, konsep persatuan Islam adalah pendekatan antar sesama mazhab untuk saling mengkaji dan meneliti mazhab lainnya agar kerancuan dan kesalahpahaman yang selama ini ada dapat dihilangkan. Dan, pada tataran praksis, ketika musuh Islam membahayakan Islam dan kaum muslimin, maka sikap yang harus dipilih adalah persatuan dan satu kata untuk menolak bahkan membela kaum muslimin di mana pun berada.[infosyiah]

Persatuan Islam, Bukan Khayalan

Persatuan Islam, Bukan Khayalan

Belum lama ini terasa adanya peningkatan usaha untuk memecah-belah muslimin dan menimbulkan pemusuhan di kalangan mereka. Untuk itulah berbagai media massa, lembaga, tokoh-tokoh politik dan agama yang memiliki keprihatinan besar dalam masalah ini, selalu menyeru umat muslimin untuk meningkatkan kewaspadaan menghadapi gerakan-gerakan dan propaganda beracun yang datang dari Barat. Ayatullah Udhma Sayid Ali Khamenei, Rahbar Revolusi Islam Iran, dalam pidato dan pesan-pesan beliau baru-baru ini, berbicara tentang konspirasi musuh-musuh ini dan membahas upaya pemecahbelahan umat muslimin dari berbagai sudut.

Baru-baru ini sebuah konferensi, yang dihadiri oleh ulama Syiah dan Sunnah, untuk menggalang kesamaan pandangan dan sikap, telah diadakan di Tehran. Ayatullah Udhma Sayid Ali Khamenei, di depan para peserta konferensi ini, seraya menyinggung adanya sejumlah perbedaan pandangan antara Syiah dan Ahlussunnah, menyebut yang demikian sebagai perkara yang wajar. Beliau mengatakan, "Perbedaan diantara para pengikut dua madzhab adalah perkara wajar. Bahkan perbedaan semacam itu tidak hanya terjadi antara Syiah dan Sunnah, tapi berlaku pula di antara para pengikut madzhab Syiah sendiri, juga diantara para pengikut madzhab Ahlussunnah. Dan hal itu berlaku di sepanjang zaman."

Rahbar Revolusi Islam memandang perbedaan akidah ini, jika berlandaskan pada akal dan mantiq, tidak akan merugikan dunia Islam. Bahkan akan efektif jika terjadi di kalangan ulama dan cendekiawan Islam, karena hal itu akan mendorong mereka untuk duduk bersama dan membahas masalah-masalah ilmiyah ini dengan penuh persahabatan dan persaudaraan. Rahbar Revolusi Islam mengatakan, "Ulama akan bertemu dan duduk bersama untuk membahas semua persoalan secara ilmiyah. Akan tetapi jika yang bermain adalah mereka yang tidak memiliki senjata ilmiyah, maka yang akan digunakan adalah senjata emosional, fanatisme, dan kekerasan, yang akan sangat berbahaya dan menimbulkan kerugian."

Dengan kata lain, menurut Sayid Ali Khamenei, ekstrimisme berlebihan dan tidak pada tempatnya dalam menyikapi perbedaan akidah, akan memunculkan perpecahan dan seringkali permusuhan yang tidak dikehendaki diantara muslimin. Masalah ini beliau jelaskan dengan mengatakan, "Kami tidak ingin mengatakan bahwa perselisihan Syiah dan Sunnah selalu datang dari pihak musuh imperialis. Kami tidak mengatakan demikian. Karena memang berbagai sentimen mereka sendiri berperan dalam hal ini. Sebagian kebodohan, sebagian fanatisme, sebagian emosi, sebagian pemahaman keliru, ikut berperan menciptakan perpecahan diantara muslimin. Akan tetapi ketika kekuatan-kekuatan imperialis turun tangan, maka mereka selalu menggunakan senjata ini semaksimal mungkin."

Dalam Al-Quran Al-Karim, Surat Al-Anfaal, Ayat 46, Allah swt melarang perselisihan yang menyebabkan kelemahan muslimin, dengan mengatakan:

وَأَطِيعُواْ اللّهَ وَرَسُولَهُ وَلاَ تَنَازَعُواْ فَتَفْشَلُواْ وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُواْ إِنَّ اللّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

"Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kalian saling bermusuhan, karena hal itu akan menyebabkan kalian menjadi penakut dan hilang kekuatan kalian. Dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar"

Jelas sekali bahwa para imperialis Barat, yang selalu mengejar ambisi mereka di negara-negara Islam, berusaha memperlemah kaum muslimin dengan menciptakan perpecahan diantara mereka. Dengan lemahnya muslimin maka mereka akan dengan mudah memperoleh tujuan-tujuan ilegal mereka, sementara umat muslimin tersibukkan dengan perpecahan diantara mereka sendiri dan tidak pernah mampu berbuat apa pun menghadapi musuh bersama mereka.

Di lain pihak, dalam beberapa tahun terakhir, terjadi perkembangan positif di dunia Islam yang membuat cemas negara-negara kafir Barat, dan hal itu mendorong mereka untuk kembali menggunakan senjata perpecahan umat Islam. Salah satu perkembangan positif penting itu ialah, bangkitkan kesadaran Islam di tengah para pengikut agama ini, setelah kemenangan revolusi Islam dan tegaknya pemerintahan Islam di Iran. Berkenaan dengan masalah ini, Ayatullah Udhma Sayid Ali Khamenei berkata, "Di tahun-tahun terakhir ini, setelah RII berhasil mencapai satu tujuan besarnya dan sampai di puncak yang tinggi, yang tak lain ialah kebangkitan dunia Islam, maka dunia kafir dan barisan imperialis semakin meningkatkan upaya mereka menciptakan perpecahan di dunia Islam."

Alasan lain yang mendorong negara-negara Barat menghembuskan angin perpecahan di dunia Islam ialah kekalahan beruntun mereka di berbagai negara Islam. Kegagalan-kegagalan itu sendiri adalah akibat dari meningkatnya kesadaran dan persatuan muslimin. Sebagaimana ditekankan oleh Ayatullah Udhma Sayid Ali Khamenei, "Saat ini kebangkitan Islam telah dimulai. Kemuliaan Islam telah muncul. Kekalahan musuh di berbagai medan laga, dari hari ke hari semakin nyata. Di Palestina, Lebanon, Irak dan Afganistan, para arogan mengalami kekalahan, karena mereka tidak berhasil mencapai tujuan-tujuan mereka di negara-negara tersebut."

Rahbar revolusi Islam, di depan para peserta konferensi persatuan Islam di Tehran itu mengatakan bahwa para pencipta perpecahan di antara Sunni dan Syiah itu jelas bukan Sunni, bukan pula Syi'iy, dan mereka sama sekali tidak memiliki rasa cinta sedikit pun kepada dua madzhab ini. Sebagai contoh, beliau menyinggung tentang berbagai aksi teror dan kekerasan di Irak yang digerakkan oleh lembaga-lembaga intelijen AS dan Israel. Beliau mengatakan, "Kawasan-kawasan yang paling rawan di Irak, yaitu Bagdad dan beberapa kota lain, adalah kawasan-kawasan yang sepenuhnya berada di bawah kekuasaan para penjajah. Karena kawasan-kawasan lain yang tidak banyak dikuasai oleh tentara AS, dan semua urusan keamanannya dikendalikan oleh pasukan keamanan Irak sendiri, maka keamanannya lebih terjaga. Dengan demikian jelas sekali bahwa semua ketidakamaman ini adalah hasil kerja para penjajah."

Melihat adanya upaya tak kenal henti para musuh untuk menciptakan perpecahan di antara para pengikut agama samawi ini dengan tujuan untuk melemahkannya, maka sudah barang tentu, kewajiban setiap muslim, terutama ulama dan para pemimpin agama ialah menciptakan persatuan Islam dan menggalang kesepahaman diantara muslimin. Untuk itulah Rahbar Revolusi Islam menekankan hal ini. Beliau menyinggung sejumlah ulama terdahulu yang menyerukan persatuan Islam, dan mengatakan, "Lihatlah para tokoh perjuangan menentang para penjajah, yang sedemikian besar bersandar kepada persatuan umat Islam. Lihatlan Sayid Jamaluddin Asadabadi, yang dikenal dengan nama Jamaluddin Al-Afghani, juga murid beliau, Muhammad Abduh, dan lain-lain. Demikian pula dari dunia Syiah, Allamah Sayid Syarafuddin Al-Amili, dan para tokoh lain, selalu berusaha mempersatukan umat Islam dan mencegah masalah perpecahan ini dijadikan sebagai alat di tangan musuh untuk menghancurkan muslimin."

Sayid Ali Khamenei juga menekankan bahwa revolusi Islam pun adalah sebuah revolusi yang menyerukan persatuan seluruh muslim. Akan tetapi dunia Barat, yang merasa terancam dan dirugikan oleh kemenangan revolusi ini, berusaha mengucilkannya dengan mengatakan bahwa revolusi di Iran ini adalah khusus revolusi Syiah, bahkan berbahaya bagi dunia Sunni. Padahal nyata sekali bahwa revolusi Iran adalah revolusi Islam, revolusi Al-Quran, dan berkibarnya bendera Islam, bukan bendera Syiah. Diantara kebanggaan terbesar revolusi Islam ini ialah bahwa ia memperkenalkan nilai-nilai dan ajaran Islam, tauhid dan hukum-hukum Ilahi ke seluruh dunia. Dan ia pun telah berhasil dalam hal ini."

Beliau menambahkan poin penting berikut ini, dan mengatakan, "Jika revolusi kami ini adalah revolusi khusus Syiah, maka kami tidak akan perduli dengan masalah-masalah Islam di luar Syiah, dan tidak akan berurusan serta ikut memikirkan masalah-masalah mereka. Jika revolusi kami hanya terbatas dalam dunia Syiah, maka dunia Barat tidak akan memusuhi kami sehebat ini. Mereka memusuhi kami sedemikian hebat karena mereka melihat bahwa revolusi ini adalah revolusi Islam, dan membela setiap muslim, serta mengajak seluruh muslimin untuk bangkit menentang para penjajah."

Beliau menambahkan bahwa revolusi Islam membeirkan bantuan yang paling serius kepada perjuangan bangsa Palestina. Bantuan maknawi dan bantuan materi telah kami berikan kepada para pejuang Palestina, semampu kami. Beliau juga menyinggung bantuan-bantuan Iran kepada bangsa Afganistan di masa penjajahan negara ini oleh Uni Soviet, dimana mayoritas negara Islam lain tidak bersedia mengecam penjajahan ini. Meski demikian, berbagai propaganda beracun berusaha menggambarkan bahwa Iran hanya mau membantu para pejuang Syiah di Lebanon dan Irak, sehingga dengan propaganda seperti ini mereka berusaha memisahkan Iran dari tubuh dunia Islam.

Persatuan Menurut Sunnah

Persatuan Menurut Sunnah
Dr. Mahdi Sane’i
(Professor Teologi Mashad University – Iran)


Persatuan, persamaan, dan persaudaraan merupakan nilai-nilai fundamental yang menjadi fondasi bagi perkembangan, kemajuan, dan kemakmuran suatu negara. Semua aliran dalam Islam menyatakan bahwa Nabi Saw telah berulang kali menekankan untuk memelihara persaudaraan dan rasa saling menghormati di antara sesama Muslim. Sejak awal, persatuan di antara sesama Muslim begitu diperhatikan oleh Nabi Saw. Bahkan setelah kemenangan Revolusi Islam Iran, Imam Khomeini ra telah menetapkan minggu kelahiran Nabi Saw (12 s/d 17 Rabiul Awwal) sebagai “Minggu Persatuan”. Setiap tahunnya, minggu ini diperingati di Iran dan dunia Islam sebagai saat-saat untuk melakukan introspeksi, memperkuat, dan merayakan persatuan di antara sesama negara Islam.

Rasulullah Saw telah diutus Allah Swt dengan misi untuk meletakkan fondasi masyarakat yang bersatu, meneruskan sebuah tujuan bersama untuk menghapuskan segala bentuk ketidakadilan, rasialisme atau diskriminasi kelas. Dalam menunaikan tugas yang istimewa ini, Nabi Saw secara seksama merancang program yang sangat khas, yakni propaganda melalui akhlak pribadinya yang sempurna, yang sangat dia sarankan kepada setiap Muslim untuk mengikutinya. Program-program ini dibuat dengan tujuan membawa umat Islam kepada kemuliaan, kedamaian, kemajuan, dan keamanan sebagai perwujudan dari ayat Quran berikut ini: “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya) jika kamu orang-orang yang beriman.”

Berikut ini beberapa prinsip yang diperkenalkan oleh Nabi Saw untuk merealisasikan misi yang mulia tersebut. (1). Nabi Saw merupakan contoh kesempurnaan kasih sayang dan belas kasihan terhadap seluruh alam semesta. Bukan hanya berbuat baik dan cinta kepada umat Islam, tetapi juga ketika berhubungan dengan mereka yang non-Muslim, bahkan terhadap musuh-musuhnya dia bertingkah laku mulia dan lemah lembut, sedemikian rupa sehingga mereka memperlihatkan ketertarikan serta kecenderungan kepada Islam dan menciptakan kedamaian di antara beberapa komunitas. Lagipula, meskipun mereka tidak memeluk Islam, paling tidak, mereka akan mempelajari sopan santun dan kemuliaan dari Nabi Saw, sehingga secara konsekuen mereka akan menjauhkan diri dari perilaku yang tidak manusiawi, kekejian, dan kekejaman terhadap sesama, agar dapat menjamin kedamaian bersama. Pendekatan Nabi Saw sangatlah berbudi sehingga dia tidak akan pernah mengutuk, bahkan terhadap penganut politeisme.

Diriwayatkan bahwa suatu saat Nabi Saw diminta untuk menjatuhkan kutukan pada kaum kafir., tetapi dia menolak dan kemudian bersabda: “Aku tidak diutus untuk menimpakan bencana bagi suatu kaum, tetapi aku diutus sebagai rahmat bagi alam semesta.” (Shahih Muslim, vol. 8, p. 24). Nabi Saw memiliki akhlak mulia dalam tingkah lakunya dengan kaum kafir, sedemikian rupa sehingga suatu kali dia memberikan bantuan keuangan bagi sekelompok orang Yahudi yang diambil dari milik pribadinya sendiri (Kitabul Usul, p. 605).

Islam melihat segala permasalahan dari berbagai perspektif dan bermaksud untuk menciptakan persahabatan dan hubungan dekat di antara semua komunitas umat manusia, baik Muslim maupun non-Muslim, dengan tujuan untuk membebaskan kemanusiaan dari setan-setan kebencian, dendam serta keberadaan yang harmonis antara satu dengan yang lain. Jadi, semua tradisi Nabi Saw mengajarkan kepada kita tentang sensitifitas dan nilai-nilai kemanusiaan, menuntun kita untuk memiliki hubungan yang baik dan didasarkan kepada kasih sayang, bahkan terhadap kaum kafir sekalipun.

Lagi pula, Nabi Saw selalu menekankan tentang persaudaraan dan persatuan di antara umat Islam. Berdasarkan ajaran ini, dapat dikatakan bahwa siapa saja yang menciptakan perpecahan dan kebencian di antara sesama Muslim demi kepentingan pribadi dan duniawi, telah mengkhianati perintah Nabi Saw yang sangat dasar ini. Tentunya, Nabi Saw hanya menyampaikan apa yang diperlihatkan kepadanya oleh Allah Swt. Ketidakpatuhan dan ketidakpedulian terhadap perintah yang mulia ini pasti akan dipertanyakan Allah Swt saat hari penentuan.

Yang ke-(2) adalah umat Islam sebagai satu kesatuan tubuh. Nabi Saw telah meletakkan kriteria yang membedakan secara jelas antara Muslim dan kafir. Secara khusus, hal ini juga berarti untuk menjaga diri dari infiltrasi yang mengakibatkan perselisihan dan perpecahan di antara Muslim. Dalam Sunnah-nya, Nabi Saw bersabda: “Seseorang yang menyatakan ‘La ilaha illa Allah’, dan menerima kiblat kita sebagai kiblatnya, dan memakan makanan halal, maka ia Muslim. Dan semua hukum Islam, diwajibkan atasnya.” (Shahih Bukhari, vol 1, p.103).

Pada zaman ini, ketika teknologi, komputer, ilmu tingkat lanjut, dan komunikasi berkembang pesat, kebenaran tidak dapat disembunyikan lagi dari manusia modern. Jadi, inilah saat yang tepat bagi penganut berbagai aliran dalam Islam untk duduk bersama dan melihat kembali pesan yang nyata dari Islam dan Nabinya Saw.

Merupakan perbuatan sia-sia, meskipun sebagai pecinta Allah Yang Esa dan pengikut Nabi serta mempunyai agama yang sama yang telah terbagi ke dalam berbagai aliran karena perbedaan-perbedaan biasa, menolak untuk bertemu satu sama lain dan menyebut satu sama lain sebagai kafir. Apakah itu adil? Khususnya, ketika memperhatikan bahwa semua aliran besar dalam Islam tidak memiliki perbedaan dalam prinsip-prinsip dasar Islam? Selama hidupnya, Nabi Saw telah memperlihatkan begitu pentingnya nilai-nilai persatuan dan persaudaraan, dia telah menyatakan dengan tegas bahwa setiap Anshar (di Madinah) mengangkat satu orang Muhajirin sebagai saudaranya (A’yan al-Shi’a, vol. I, p. 236; Siratul Nabawiyeh of Ibn-e Hisham, vol. 2, p. 150).

Demikian pula yang ke-(3) adalah bahwa semua hukum kemasyarakatan Islam dan tradisi Nabi Saw, seperti memberi salam, menjabat tangan, tersenyum, melaksanakan shalat Jumat, semuanya bermaksud untuk memelihara persaudaraan, kehangatan, kedekatan dan empati di antara sesama Muslim. Dengan kata lain, segala perilaku buruk seperti kecurigaan, pengkhianatan, arogansi, fitnah, kebohongan, dan sebagainya dilarang. Hal ini dilakukan untuk menjaga diri dari ketidakamanan, perpecahan, dan pertentangan di antara saudara seiman.

Sekarang mari kita lihat beberapa sunnah Nabi Saw untuk melihat lebih jauh pesan-pesan persaudaraan dan persatuan yang dibawa Nabi Islam Saw dalam sabda-sabdanya:

a). “Islam memberi perhatian yang besar terhadap kehormatan dan martabat orang-orang beriman. Oleh sebab itu, tidak seorang pun diperkenankan untuk merendahkan martabat saudaranya.” (Al-Matajir, Sheikh Ansari, p. 40)

b). “Segala sesuatu yang menjadi hak milik Muslim harus dihormati sewajarnya oleh semua Muslim.” (Bihar al-Anwar, vol. 77, p. 160)

c). “Hindarilah olehmu kecurigaan, menyebar fitnah, mematai-matai orang lain, dan kecemburuan. Janganlah kamu memelihara dendam atau memutuskan ikatan persaudaraan. Wahai hamba Allah! Sebarkanlah hubungan persaudaraan di antara satu dengan yang lain.” (Usul-e Kahfi, vol. 3, p. 254)

d). “Mohonkanlah bagi semua Muslim apa yang kamu harapkan bagi dirimu, dan jangan kamu mengharapkan sesuatu dari yang lain apa yang kamu benci bagi dirimu.” (Shahih Bukhari, vol. I, p. 9)

e). “Tidaklah baik bagi seorang Muslim untuk menyimpan ketidakrelaan dan mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari. Yang terbaik di antara kamu adalah dia yang memulai menjalin hubungan dan memberi salam kepada saudaranya yang Muslim.” (Shahih Muslim, vol. 16, p. 115)

Apabila kita menyebut diri kita sebagai Muslim dan pengikut Nabi Saw, kita memiliki tanggung jawab untuk mematuhi perintah-perintah dan sunnah-nya, baik dalam pikiran, perkataan, serta perbuatan. Apalagi ini merupakan jalan yang ditunjukkan melalui Nabi Saw yang menyebarkan firman-firman Allah dan pesan-pesan Islam, kita ditugaskan untuk mengikuti langkah-langkahnya.

Yang tidak dapat dilupakan, bahwa salah satu kondisi awal yang penting bagi kemajuan adalah persatuan dan kerja sama. Oleh sebab itulah, saat Nabi Saw memapankan pemerintahannya di Madinah, secepat mungkin dia menjadikan persatuan dan persaudaraan Islam sebagai dasar dan karakter politiknya. Sejarah mencatat, kebijakan politik persatuan inilah yang menyebabkan Nabi Saw berhasil menciptakan kekuatan, keteraturan, dan masyarakat beradab dari banyak suku yang berperang dalam waktu yang sangat singkat.

Islam diutus untuk menciptakan perdamaian, kemakmuran, dan menjadi penyelamat umat manusia. Oleh sebab itu, sangatlah malang apabila seseorang yang telah dianugerahi Islam serta menjadi pengikut dari Nabi Saw yang pengasih dan penyayang, tetap berada di jalur ketidakpedulian, perpecahan, dan ketidakadilan.[]

(Diterjemahkan dari Unity in Sunnah dalam Mahjubah oleh SKD Utari)

Wawancara ‘Blak-blakan’ Tentang Isu-isu Persatuan Islam dengan Ayatullah Muhammad Ali Taskhiri

Wawancara ‘Blak-blakan’ Tentang Isu-isu Persatuan Islam dengan Ayatullah Muhammad Ali Taskhiri


Di sela-sela kesibukan Ayatullah Muhammad Ali Taskhiri (T) sebagai ulama representatif Muslim Syi’ah sedunia dalam ICIS (International Conference of Islamic Scholars II) di Hotel Borobudur, kami, tim majalah SYI’AR (S) mendapatkan kesempatan berharga dan kehormatan bersejarah untuk melakukan wawancara ‘blak-blakan’ dengan anggota Dewan Ahli Republik Islam Iran ini. Berikut transkrip wawancara:

S : Apa perbedaan antara wahdah, ittihad, ukhuwwah dan tauhid al-kalimah?


T : Saya tidak menemukan perbedaan antara istilah-istilah tersebut, wahdah adalah ittihad itu sendiri dan ukhuwwah adalah salah satu pondasi dasar teoritis untuk terelasisasinya persatuan Islam. Jadi, persatuan Islam itu berdiri di atas dasar-dasar, antara lain kesamaan akidah/pandangan dunia dan persaudaraan Islam yang berdiri di atas persaudaraan iman. Namun ada perbedaan antara persatuan dan pendekatan (taqrib) karena pendekatan itu adalah (merujuk pada usaha mendekatkan suatu pemikiran) di antara berbagai pemikiran yang berbeda-beda. Pemikiran itu tidak mungkin menjadi satu, disebabkan oleh perbedaan tingkat intelektual dan perbedaan interpretasi. Maka, apa yang kita maksudkan dengan pendekatan antar pemikiran itu adalah menguak area kesamaan dan meluaskannya agar dapat bekerja sama dalam menerapkan area yang sama tersebut. Adapun wahdah (persatuan) adalah (persatuan) di dalam sikap dan praktik. Artinya, diharapkan agar umat ini memiliki sikap yang satu di saat berhadapan dengan tantangan besar yang datang dari luar dan sikap yang satu dalam hal menyelesaikan problem intern dalam menegakkan syariat dan nilai-nilai akhlak. Ringkasnya, dari satu sisi tidak ada beda antara wahdah dan ittihad. Keduanya berdiri di atas persaudaraan iman yang menjadi pondasi teoritis demi terselenggaranya persatuan Islam.


S : Lawan dari istilah-istilah tersebut kita mendapatkan istilah khilaf dan ikhtilaf? Adakah perbedaan antara keduanya?

T : Mungkin saja kata khilaf ditafsirkan sebagai pertentangan praktis dan amali. Adapun ikhtilaf ditafsirkan sebagai pertentangan teoritis dan pemikiran. Namun saya tidak melihat ada perbedaan substansial di dalam pembahasan dua istilah tersebut. Perbedaan dan pertentangan di dalam pemikiran tidak ada salahnya dan tidak ada teks agama yang menolak adanya perbedaan dalam pemikiran. Sebagaimana saya tidak pernah menemukan teks agama yang menuntut adanya kesamaan pemikiran. Akan tetapi yang tercela dan dilarang oleh agama adalah pertentangan dan perbedaan di dalam tataran praktis. Di saat Allah Swt berfirman, Wa’tashimû bihablillâhi jamîy’ân walâ tafarraqu (berpeganglah pada tali Allah dan janganlah berpecah belah] ingin menekankan adanya kesamaan sikap dalam praktik dan amal dengan berpegang teguh pada tali Allah yang kokoh dan tetap yang merupakan jalan menuju Allah yang bebas dari kesalahan (ma’shum) yang tidak ada perselisihan padanya.

S : Apakah persatuan meniscayakan adanya keyakinan akan kebenaran yang majemuk dan plural?

T : Tidak. Kebenaran itu tunggal. Hanya saja sudut pandang dan metode yang ditempuh berbeda-beda. Kami di dalam agama Islam meyakini, bahwa syariat Islam itu satu. Syariat yang ada di sisi Tuhan adalah tunggal. Namun interpretasi untuk memahami syariat tersebut berbeda-beda. Seorang mujtahid yang melakukan interpretasi bisa salah dan bisa benar. Seperti di dalam hadits disebutkan, bahwa mujtahid yang salah akan mendapatkan satu pahala dan yang benar akan mendapatkan dua pahala. Ini tidak meniscayakan adanya kebenaran yang banyak dan majemuk. Kebenaran atau hakikat adalah kesesuaian antara yang ada di dalam benak kita sebagai konsep dengan realitas yang terjadi di luar. Ini adalah definisi kebenaran. Bila sesuai, maka berarti telah benar dan bila tidak sesuai, maka berarti yang ada di benak kita itulah yang salah dan bukan berarti kebenaran itu berubah dan menjadi banyak. Di sinilah letak kesalahan paham Marxis, di mana mereka menganggap, bahwa perbedaan pandangan atau konsep yang ada di benak kita tentang kebenaran atau hakikat dapat mengubah kebenaran dan hakikat itu sendiri. Karena itu, di saat pandangan manusia berubah-ubah, maka kebenaran itu sendiri juga berubah-ubah. Di saat terjadi perkembangan pada cara berpikir manusia, maka terjadi pula perkembangan dalam hakikat dan kebenaran. Sekali lagi keragaman keyakinan dan praktik amali tidaklah meniscayakan keyakinan akan keragaman kebenaran yang banyak, namun hal itu memberikan makna, bahwa kebenaran itu adalah satu. Hanya saja ada beberapa perbedaan pandangan tentang kebenaran tersebut, sebagiannya benar dan sebagian yang lain salah.

Pluralisme juga memiliki makna adanya saling menghormati antar pemeluk keyakinan yang berbeda-beda. Di dalam al-Quran di Surah Saba’ ayat 24 Allah memerintahkan Nabi saw untuk menyeru kepada orang-orang musyrik saat itu, Dan sesungguhnya kami atau kalian (orang-orang musyrik) pasti berada dalam petunjuk atau dalam kesesatan yang nyata. Ini sama sekali tidak dalam rangka menjelaskan, bahwa kebenaran itu berbilang, namun di dalam dialog ada kalanya Anda yang salah dan ada kalanya saya yang salah. Di dalam ayat berikutnya Allah berfirman, Katakanlah, “Kamu tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas dosa yang kami lakukan dan kami tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang kamu lakukan. Coba perhatikan! Di dalam ayat ini ada dua hal yang patut kita petik.

Pertama, al-Quran melarang kita—di saat masuk dalam sebuah dialog—untuk mengungkit-ungkit masa lalu dan menuduh dengan perbuatan-perbuatan jelek yang dilakukan dengan mengatakan, ‘Bukankah engkau dulu yang begini dan begini”, sehingga pada akhirnya melupakan pembahasan aslinya dengan mengalihkan pada masalah pribadi.

Kedua, al-Quran mengajarkan kepada kita agar menghormati lawan bicara dengan tidak menganggap apa yang dia lakukan sebagai sebuah kesalahan, sebaliknya kita harus menganggap perbuatan yang kita lakukan sebagai perbuatan jelek (ajramnâ) yakni sesuai dengan pandangan lawan bicara, sedangkan pekerjaan lawan bicara tidak boleh kita anggap sebagai perbuatan jelek, walaupun menurut kita salah. Karena itu, di dalam ayat itu ia menggunakan kata ’amma ta’malûn (apa yang kamu lakukan) padahal lawan bicara Nabi di dalam ayat itu adalah musyrik. Maka, bagaimana jika dia seorang Ahlulkitab bahkan Muslim?

Jadi, persatuan di dalam tataran praktik tidaklah bertentangan dengan keyakinan pluralis, namun haruslah berada di dalam koridor umum. Artinya, haruslah ada aksioma yang general dan diterima oleh semua, seperti keimanan akan satu Tuhan (tauhid) dan keyakinan akan nilai-nilai absolut. Selama berada di dalam koridor tersebut, maka tidak ada larangan untuk terjadi perbedaan pandangan dan pemikiran, bahkan dalam agama sekalipun. Masyarakat Islam bisa hidup bersama pemeluk agama lain dan dapat memberikan hak-hak mereka. Maka, pluralisme adalah suatu hal yang wajar di dalam koridor peradaban, agama, dan mazhab dalam satu agama. Saya tidak melihat hal itu sebagai problem. Malah saya menganggapnya sebagai sebuah keniscayaan dengan masing-masing pemeluknya memiliki jiwa toleransi dengan yang lain serta bekerjasama secara logis.

S : Bagaimana pendapat YM berkenaan dengan isu dan tuduhan yang dilontarkan oleh mereka yang tidak sejalan dengan upaya persatuan, dengan mengatakan, bahwa “persatuan” yang diperjuangkan oleh orang-orang Syi’ah dan Republik Islam Iran memiliki motivasi strategis dan politis bukan dalam rangka memperjuangkannya sebagai bagian dari ajaran Islam?

T : Tuduhan-tuduhan seperti itu sering kali kita dengar dan bukanlah hal yang baru. Sepanjang sejarah kita dapatkan tuduhan-tuduhan murahan seperti itu. Kita harus membedakan antara strategis dan taktik. Strategis adalah upaya yang berkepanjangan dan tetap, sedangkan taktik adalah bersifat sementara dan berubah-ubah. Kita mengakui, bahwa upaya persatuan itu adalah masalah strategis, yakni sebuah garis panjang yang telah digariskan Islam seperti firman Allah dalam Surah Anbiya’ ayat 92: Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku. Begitu juga di dalam Surah al-Mu’minun ayat 52, Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku. Artinya, di saat Islam menekankan pentingnya persatuan dan mewajibkan persaudaraan dan di sisi lain membuka pintu kebebasan berijtihad yang konsekuensinya adalah adanya perbedaan dan menentukan batasan-batasan di mana siapa yang berada di dalamnya berarti masuk dalam keluarga besar umat Islam, yakni mereka yang meyakini akan keesaan Tuhan, kenabian Nabi Muhammad saw dan hari akhir serta menerima aturan-aturan Islam yang disepakati, seperti shalat, puasa, haji dan jihad. Mereka yang berada di dalam area ini adalah keluarga besar umat Islam, semuanya memiliki kedudukan yang sama (mutakafiun, mutadhaminun) dan memiliki hak dan tanggung jawab yang sama. Ini yang dikatakan oleh Islam dan bukanlah yang dikatakan oleh Iran atau Syi’ah. Iran dan Syi’ah tidak memiliki perkataan lain. Di saat kita mengajak kepada persatuan dan pendekatan antar mazhab, maka kami tidak menginginkan selain dari hal ini. Muawiyah bin Abi Sufyan di dalam salah satu suratnya kepada Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib berkata: “Apa yang Anda sampaikan bukanlah sesuatu yang baru, namun sudah disebutkan oleh al-Quran dan Sunnah Nabi.” Imam Ali menjawab, “Itu adalah kebanggaanku, di mana apa yang aku sampaikan adalah sesuai dengan al-Quran dan sabda Rasulullah. Aku memang tidak memiliki sesuatu yang lain selain dari apa yang telah diturunkan oleh Allah di dalam al-Quran dan apa yang telah disabdakan oleh Nabi saw. Engkau bermaksud untuk mencela diriku namun, itu adalah penghormatan dan pujian bagiku.”

Republik Islam Iran memang tidak memperjuangkan sesuatu yang baru. Segala apa yang diperjuangkan adalah dari dalam al-Quran dan Sunnah. Kelompok Salafi dan kelompok yang mengkafirkan kelompok lain yang sering melakukan tuduhan seperti di atas, mereka sendirilah yang telah keluar dari logika Islam dan al-Quran di saat mereka mengafirkan orang yang tidak kafir dan menuduh orang yang tidak tertuduh. Kami meyakini, bahwa siapa yang mengimani rukun Islam dan iman, maka ia telah masuk di dalam kesatuan umat Islam sekalipun belum pernah mengamalkan ajaran Islam. Di sisi lain, kami mengajak untuk melakukan pendekatan antara mazhab-mazhab Islam dan makna pendekatan itu bukanlah meleburkan semua mazhab menjadi satu atau melakukan campur aduk antar ajaran mazhab yang berbeda-beda. Namun pendekatan mazhab yang ingin kami realisasikan adalah menyingkap area persamaan, memperluasnya, dan bekerja sama dalam melaksanakan yang disepakati tersebut dan saling memahami dan memaafkan atas perbedaan yang dimiliki. Apakah ini sesuatu yang keluar dari garis dan koridor Islam? Islam menyuruh kita untuk mencari titik temu dengan Ahlulkitab, seperti firman-Nya dalam Ali Imran 64: Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)". Saya meyakini, bahwa ayat ini menyuruh kita untuk mencari area persamaan dengan orang musyrik sekalipun, tidak hanya Ahlulkitab. Artinya, jika memang ada titik-titik persamaan dengan orang-orang musyrik, maka wajib kita cari titik-titik persamaan tersebut. Tentunya lebih-lebih lagi kita harus mencari titik-titik temu antara kaum Muslimin sendiri. Inilah yang kami perjuangkan di dalam upaya melakukan pendekatan dan dialog antar mazhab. Adapun upaya merealisasikan persatuan Islam itu agar umat Islam bersatu dalam menghadapi musuh bersama. Apakah Islam tidak menginginkan demikian? Artinya, apakah Islam menyuruh kita untuk bercerai berai dalam rangka menghadapi musuh kalian? Apakah Islam menyuruh kita bercerai-berai dalam menyelesaikan problem internal dan penting umat Islam? Saya benar-benar tidak dapat memahami perkataan dan tuduhan mereka, kecuali salah satu kemungkinan berikut: (1) karena kebodohan mereka dan memang mayoritas mereka demikian; (2) karena fanatisme mereka dan mayoritas mereka memang demikian (3) karena kepentingan politik (4) karena mereka merupakan kaki tangan musuh-musuh Islam.

S : Sebagaimana masyhur di kalangan ulama ushul fikih dan hadis Syi’ah, bahwa salah satu solusi untuk keluar dari kemelut adanya dua hadis yang bertentangan adalah pertentangannya dengan pendapat umum “mukhalafatul ‘ammah bahkan di dalam kitab al-Kâfî disebutkan, bahwa “Da ‘uw ma yuwafiqul qaum fainnar- rusydu fiy khilafihim” artinya hadis yang sesuai dengan pendapat umum (Ahlusunnah) itu adalah salah dan yang tidak sama dengan mereka itu adalah yang dapat diambil dan diamalkan. apakah ini tidak bertentangan dengan upaya wahdah dan taqrib?

T : Sama sekali tidak. Sebab yang dimaksudkan dengan kata ‘ammah dalam hadis tersebut bukanlah ulama Ahlusunnah. Namun para ulama kerajaanlah yang memproduksi fatwa itu sesuai dengan keinginan raja. Sebagai bukti atas hal itu, hadis tersebut disampaikan oleh Imam Ja`far Shadiq as dan saat itu belum ada mazhab-mazhab Ahlusunnah yang empat. Jadi, maksud dari kaidah dan hadis tersebut adalah di saat kita menemukan ada dua hadis yang bertentangan dan kedua-duanya dari Imam Ahlulbait, yang satu menyuruh dan yang satu lagi melarang. Tentu, hanya satu di antara keduanya yang betul dan tidak mungkin betul kedua-keduanya. Salah satu cara untuk menyelesaikan problem itu dan memastikan mana yang benar di antara dua perintah dan larangan tersebut adalah dengan mengambil yang bertentangan dengan yang difatwakan oleh ulama kerajaan. Sebab yang sesuai dengan fatwa mereka memiliki kemungkinan Imam as menyampaikannya dalam rangka taqiyah itu. (Harus kita ingat) kondisi dan tekanan yang dialami Imam, meniscayakan Imam untuk bertaqiyah dengan menyatakan yang bersesuaian dengan fatwa mereka. Sebaliknya, yang bertentangan dengan fatwa mereka, maka tidak ada kemungkinan hal itu disampaikan oleh Imam dalam rangka taqiyah. Kesimpulannya, kaidah ini sangat jauh dari yang dipahami sebagian orang dan pada akhirnya tidak bertentangan dengan prinsip pendekatan dan persatuan antar mazhab.

S: Dalam ilmu hadis Syi’ah, kita tahu bahwa ada perbedaan penerimaan ulama antara perawi Sunni dengan Syi’ah. Bagaimana komentar YM?

T: Memang betul hal itu terjadi. Namun bukan berarti setiap hadis yang diriwayatkan oleh non-Syi’ah itu harus ditolak. Karena itu kita kenal ada istilah hadis muwatstsaq yaitu hadis yang diriwayatkan oleh para perawi adil non-Syi’ah. Hadis muwatstsaq itu dapat dipergunakan (hujjah) sebagaimana ada istilah lain yang dikenal dengan “maqbulah”. Sungguh sebuah kesalahan besar apa yang dikatakan sebagian orang bahwa Syi’ah hanya menerima hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para perawi Syi’ah saja atau Ahlulbait saja. Yang benar setiap hadis yang diriwayatkan oleh para perawi adil, baik Syi’ah atau bukan, dari Ahlulbait atau bukan, yang penting periwayatannya bersambung hingga seorang maksum (Rasul atau Ahlulbaitnya). Sekali lagi saya ingin tegaskan, bahwa jika ada hadis, sabda Nabi yang diriwayatkan oleh para perawi adil non-Syi’ah, maka kami menerimanya. Begitu juga hadis yang disabdakan oleh para Imam Ahlulbait dan diriwayatkan oleh para perawi adil non-Syi’ah.

S: Ada keragaman metode dan cara yang dilakukan oleh beberapa teman ustadz atau mubalig dalam mengenalkan mazhab Ahlulbait kepada masyarakat Indonesia. Ada yang masuk dari pintu sejarah, maka melakukan kajian historis yang meniscayakan adanya pembahasan tentang sahabat dan para khalifah serta kesalahan-kesalahan mereka. Sebagian lain melakukan kajian masalah-masalah yang berhubungan dengan fikih yang diperselisihkan, seperti shalat tarawih, mut’ah dan sebagainya. Sekelompok yang lain menggunakan pendekatan doa dan kadangkala masuk dari kanal politik. Sebagai seorang yang berpengalaman dalam hal ini, manakah di antara metode-metode tersebut yang Anda rekomendasikan kepada kami?

T : Secara pribadi saya tidak setuju adanya upaya untuk mengubah mazhab seseorang dan demografi mazhab. Saya meyakini, hendaknya kita tidak mengambil kesempatan kelengahan orang lain. Namun, pada saat yang sama saya meyakini, bahwa hal itu bukan berarti menutup pintu pembahasan dan dialog. Memang benar telah terjadi perselisihan dan perbedaan pandangan antara Sunnah dan Syi’ah dalam masalah-masalah teologi, historis, dan fikih. Akhir-akhir ini juga dalam masalah politik. Ketika kita berupaya untuk melakukan pendekatan, artinya kita membuka pintu lebar-lebar agar para ulama yang memiliki keahlian di bidangnya masing-masing duduk bersama untuk melakukan pembahasan. Di bidang sejarah misalnya, apakah masalah A itu pernah terjadi atau tidak? Apakah sahabat semuanya adil? Apakah Ahlulbait semuanya maksum, semua itu sebagai pembahasan sejarah haruslah diserahkan kepada ahlinya. Di dalam masalah akidah juga demikian para ulama membahas apakah sifat Allah itu menyatu dengan zat-Nya ataukah tidak? Apakah dalil tentang kemaksuman Nabi—baik rasional atau tekstual—mencakup adanya keterpeliharaannya dari kesalahan, dosa dan lupa ataukah hanya keterpeliharaan dari dosa dan maksiat saja? Begitu pula di bidang fikih, apakah mut’ah itu halal dan kemudian diharamkan (kembali) oleh Rasul atau tidak? Apakah Nabi melakukan shalat tarawih ataukah tidak? Siapa yang memulainya? Khalifah Umar atau lainnya? Apakah sunnah (ajaran yang dicontohkan) oleh para khalifah adalah seperti sunnah Rasul yang harus diikuti? Semua itu harus diserahkan kepada yang memiliki keahlian di bidangnya, karena merekalah yang lebih berkompeten dan memiliki sarana untuk membahas hal itu. Apakah riwayatnya sahih atau tidak? Apakah konteks hadis tersebut bisa dipahami (hujjah) demikian atau tidak? Bagaimana menyelesaikan perselisihan dan pertentangan dua hadis yang berbeda? Jika mereka dapat menghasilkan kesepakatan paham, alhamdulillah. Jika tidak, maka hendaknya masing-masing saling menghormati. Sangat tidak layak secara akademis jika seorang awam, pedagang yang sehari-hari di pasar membahas hal itu dengan sesama pedagangnya atau dengan sopir taksi misalnya. Itu adalah masalah-masalah yang para ulama telah berselisih pendapat sejak 1200 tahun yang lalu. Yang ingin saya tekankan di sini—seperti yang saya sampaikan dalam pertemuan di Universitas az-Zahra dan Konferensi ICIS II—adalah, bahwa Islam sangat menekankan pada kekuatan logika. Karena itu, semua pembahasan itu haruslah di bawah naungan logika tersebut dan jika terdapat yang keluar dari jalur logika maka ia telah keluar dari garis Islam. Saya sebagai seorang ahli fikih, misalnya, jika melakukan berbagai upaya untuk “menipu” dan menarik simpati seorang awam yang tidak banyak tahu tentang masalah fikih kemudian menariknya ikut dan bergabung dengan mazhab yang saya yakini, maka saya telah melanggar kode etik logis. Begitu juga seorang ahli sejarah yang membahas masalah sejarah yang diyakininya di depan seorang awam. Metode logis adalah ketika keduanya duduk sesama ahlinya dan selevel secara akademis kemudian masuk dalam pembahasan dengan hati terbuka dan tujuan yang baik dan saling menghormati seperti yang terkandung dalam ayat di atas. Selain itu hendaknya tidak memperkeruh atmosfer dengan hal-hal lain. Di zaman Nabi beliau dituduh dengan tuduhan gila, tukang sihir, dan tuduhan-tuduhan lain. Tentu dalam kondisi seperti itu Nabi tidak mungkin untuk membantahnya dengan mengatakan, ‘saya tidak gila dengan argumentasi berikut; satu, dua, tiga,…’ Atmosfernya adalah atmosfer tuduhan bukan pembahasan. Karenanya tidak ada jalan lain kecuali menghilangkan kondisi yang demikian dan menggantikannya dengan atmosfer baru yang kondusif untuk pembahasan ilmiah dan logis. Allah memerintahkan Nabi saw untuk menyeru mereka dengan firman-Nya, Qul innamaa a’idhukum bi wahidah an taqumu lillaahi matsnan wa furada tsumma tatafakkaru ma bishahibikum min jinnah, artinya “marilah kita jadikan Allah sebagai saksi kita dan kita duduk sendiri-sendiri atau berdua-berdua, baru kemudian setelah itu kalian mengolah pikiran kalian bahwa sahabat kalian ini tidaklah gila,” namun seorang yang berakal sehat, tulus, jujur. Ini yang pertama. Yang kedua apa yang disampaikan oleh Nabi itu adalah sebuah perkataan yang penuh hikmah dan logis. Bagaimana mungkin yang demikian disampaikan oleh seorang gila? Kesimpulannya haruslah diciptakan atmosfer pembahasan yang kondusif dan kekuatan logikalah yang menjadi lokomotifnya. Bahkan bukan hanya sesama Muslim atau Ahlulkitab, namun dengan seluruh manusia apa pun agama dan mazhabnya. Dan hal itu berlaku juga dalam pembahasan di bidang-bidang lain. Sangat tidak mungkin seorang pakar fisika melakukan diskusi dengan seorang pelajar yang baru duduk di bangku kelas satu SD.

S : Namun di saat pembahasan kadang-kadang seorang mubalig atau ustadz mendapatkan tantangan untuk masuk ke dalam masalah-masalah sejarah yang konsekuensinya harus membongkar file-file tentang sahabat. Apakah kita harus melayaninya atau meninggalkannya?

T: Menurut hemat kami seorang juru dakwah haruslah menghindari masalah-masalah yang menimbulkan sensitivitas di kalangan Muslimin, khususnya dalam masalah-masalah yang tidak berhubungan langsung dengan kehidupan kita saat ini. Perhatikan seberapa besar urgensi membahas siapa yang berhak untuk menjadi pemimpin setelah wafatnya Rasulullah, apakah Abu Bakar atau Ali? Apa manfaat jawaban dan hasil dari pembahasan itu bagi kehidupan kita saat ini? Almarhum Ayatullah Uzhma Sayid Burujurdi pernah berkata, “Daripada kaum Muslimin membahas siapa yang lebih berhak menjadi khalifah setelah Rasulullah dan menimbulkan perselisihan berkepanjangan tanpa akhir, sebaiknya mereka membahas siapa yang lebih berhak untuk menjadi rujukan umat dalam hal keilmuan setelah Rasulullah.” Hal itu hampir menjadi kesepakatan ulama dan umat Islam. Bukankah semua Muslim dari mazhab apa pun dia, selalu menyebut Ali dengan sebutan imam? Para khalifah pun mengakui keluasan dan kedalaman ilmu Imam Ali. Mereka menyelesaikan problem yang dihadapi dengan meminta tolong kepada Imam Ali. Ilmu-ilmu Imam Ali dan Ahlulbait yang lain juga membuktikan hal itu. Begitu pula hadis-hadis Nabi tentang mereka, seperti ‘Aliyyun ma’al haq wal haqqu ma’a ‘Aliy (Ali bersama kebenaran dan kebenaran bersama Ali), Inni tarikun fikumuts tsaqalayn kitabullah wa ‘itratiy ahlu baytiy (Sesungguhnya aku tinggalkan kepada kalian dua perkara yang berat: kitabullah dan itrah-ku, Ahlulbaitku) dan lain-lain. Semua itu menunjukkan bahwa merekalah poros keilmuan. Kita sisihkan saja pembahasan bahwa mereka merupakan poros dan rujukan masalah-masalah politik dan kepemimpinan setelah Rasul. Alasannya, selain hal itu tidak berhubungan langsung dengan kehidupan kita saat ini juga rentan menimbulkan perpecahan di kalangan kaum Muslimin.

Poin penting lain yang perlu dilakukan oleh para juru dakwah dalam memperkenalkan mazhab Ahlulbait adalah dengan menyampaikan hadis, keindahan sabda-sabda penuh hikmah mereka, yang mereka sendiri menyebutnya dengan “mahasina kalamina (ucapan-ucapan indah kami).

S: Apakah yang Anda sampaikan tadi meniscayakan kita menutup semua pembahasan sejarah, seperti kasus ‘pembakaran rumah’, perampasan tanah Fadak dan sejenisnya?

T: Menurut hemat saya, harus dibedakan antara ceramah umum dan pembahasan ilmiah. Hal itu tidak layak dan bahkan tidak boleh untuk disampaikan pada forum pertama namun bisa saja menjadi pembahasan ilmiah antar ahli sejarah. Kalau kita mau meneliti kehidupan Ahlulbait, kita tidak akan menemukan data yang menunjukkan bahwa mereka mengetengahkan kasus Fadak dalam ceramah dan diskusi mereka, kecuali di saat persitiwa itu terjadi saja semenjak Imam Ali, Imam Hasan hingga Imam Kedua Belas, karena hal itu merupakan kasus historis yang sangat parsial. Kami meyakini masih banyak masalah positif lain yang bisa disampaikan dalam rangka memperkenalkan Ahlulbait. Itu tentu jauh lebih baik dan produktif.

S : Bagaimana pandangan Anda terhadap upacara dan ritual yang dilakukan oleh orang-orang Syiah di Iran dan di tempat lain, khususnya pada hari-hari Asyura yang kadangkala menyebabkan saudara-saudara kita dari Ahlussunnah merasa “risih” dan mengecamnya, seperti memukul kepala dengan pedang dan pisau, memukul-mukul dada dengan rantai hingga berdarah-darah?

T: Sebagian dari yang mereka lakukan, seperti menangis dan bersedih atas duka yang menimpa Ahlulbait adalah hal yang wajar. Banyak teks hadis yang menguatkan agar kita bersedih ketika Ahlulbait bersedih dan bergembira disaat mereka bergembira. Sebagian lain dari praktik-praktik itu merupakan ekspresi spontan (floklori). Setiap bangsa memiliki cara tersendiri untuk mengekspresikan kesedihannya. Misalnya, sebagian bangsa mengenakan baju hitam, sebagian yang lain menutup segala sesuatu dengan kain hitam, membuat makanan khusus dan membagi-bagikannya kepada yang membutuhkan. Semua ekspresi tersebut, selama tidak mengandung unsur-unsur yang bertentangan dengan ajaran Islam, maka tidak dilarangan.

Islam tidak pernah melarang adat istiadat dan budaya suatu bangsa yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam, seperti memberikan makanan pada fakir miskin, menampakkan kesedihan, tidak tertawa pada hari-hari Asyura, bahkan sebagian tidak merayakan akad nikah karena menghormati Imam Husain. Semua masalah ini adalah wajar-wajar saja dan saya tidak mendapatkan adanya larangan.

Satu hal lagi, kita tidak boleh ekstrim seperti sebagian salafiah yang mengatakan bahwa segala sesuatu harus ada contohnya di zaman Rasulullah. Menurut kami tidak harus begitu, sebab banyak dari masalah yang masuk dalam area mubah, sekalipun kita beri merek agamis. Seperti yang saya contohkan sebelumnya, misalnya tidak melakukan perayaan akad nikah di hari-hari Asyura atau Muharram demi penghormatan kepada Imam Husain.

Kecuali itu, melakukan hal-hal yang membahayakan bagi diri sendiri atau melakukan upacara-upacara yang dinisbahkan kepada agama, atau melakukan hal-hal aneh dan “risih”, semua itu tidak pernah diajarkan oleh Islam. Saya meyakini hal itu sebagai bid’ah dan penyelewengan yang tidak pernah diajarkan oleh wahyu dan tuntunan Allah SWT. Melukai diri, memukul kepala dengan pedang, berjalan di atas kobaran api dan sejenisnya yang biasa dilakukan oleh orang-orang awam dan jika kita melihat juga ada ulama yang melakukannya, maka itu semua termasuk ujian yang dihadapinya dari penyakit awam. Sebenarnya hal itu tidak hanya terbatas pada apa yang dilakukan oleh umat Syiah saja, namun juga mencakup apa yang dilakukan oleh sebagian ahlussunnah atau kaum sufi.

S : Apakah menjadi keharusan untuk kita memperingati hari-hari besar keagaamaan seperti Asyura atau lainnya dengan mencontoh apa yang dilakukan di suatu negara tertentu dan kita terapkan di Indonesia secara seratus persen?

T : Seharusnya kalian memperhatikan budaya umum masyarakat Indonesia dan penerimaan mereka. Pokok penting yang mesti dipegang teguh adalah menjelaskan kesedihan kepada masyarakat kita bahwa kita memasuki hari-hari sedih Ahlulbait, tidak lebih dari itu.

S : Sebagian hadis dari jalur Ahlulbait kita dapatkan memiliki nuansa kultus yang berlebihan atau yang sering disebut dengan “ghuluw” begitu juga hal-hal yang aneh dan terkesan tidak logis sering dijumpai di situ. Bagiamana YM menyikapinya?

T : Sebagai sebuah kaidah umum tanpa menyebutkan riwayat ini dan itu secara khusus, secara umum semua riwayat haruslah diteliti keshahihan sanadnya, haruslah diketahui siapa yang meriwayatkannya, apakah bisa diterima atau tidak? Jujur atau tidak? Betapa banyak riwayat yang sanadnya lemah (dhaif) baik di dalam kitab-kitab hadis Ahlussunnah atau Syiah. Hadis-hadis semacam itu tidaklah bernilai, kecuali memiliki penguat lain, seperti misalnya, secara pribadi saya kadang-kadang menemukan sebuah hadis yang sangat memiliki kesesuaian dengan kata hati kecil (wijdan), maka saya menerimanya walaupun sanadnya belum jelas. Namun saya tidak berani menisbahkannya kepada Ahlulbait atau Rasulullah.

Saya menemukan sebeuah teks yang sangat indah maknanya; Al ‘uqul aimmatul afkar, wal afkar aimmatul quluub, wal quluub aimmatul hawaas, wal hawaas aimmatul a’dha’. Artinya, akal adalah pemandu pemikiran. Pemikiran pemandu hati. Hati pemandu indera dan indera pemandu anggota tubuh yang lain. Sungguh ini sebuah realitas. Setiap orang yang merenungkannya akan menerimanya. Coba renungkan setiap orang yang berakal kemudian menggunakan akalnya, niscaya dia akan menghasilkan pemikiran-pemikiran. Pemikiran tersebut nantinya akan memberi pengaruh pada sisi emosional kita, maka pemikiran itu pemandu hati sebagai pusat emosional. Hati, dengan kekuatan emosionalnya akan mempengaruhi indera yang pada akhirnya ia akan menggerakkan anggota tubuh yang lain untuk menghasilkan sebuah aksi. Hadis semacam ini sekalipun sanadnya mursal (tidak bersambung pada Nabi atau Ahlulbait) dan tidak dalam rangka menetapkan sebuah kewajiban (taklif) atau meniadakan kewajiban, namun ia menceritakan sebuah realitas, maka tidak ada salahnya kita menerimanya.

Sekali lagi, setiap hadis haruslah diperjelas dan diteliti sanad periwayatannya di mana pun kita temukan hadis-hadis tersebut. Tidak semua hadis pasti “shahih” sekalipun Al-Kafi yang ditulis oleh ulama besar hadis, Al-Kulaini. Bahkan banyak para ulama yang mengatakan bahwa di dalam kitab Al-Kafi, lebih dari setengah kandungannya dhaif. Al-Majlisi meyakini lebih dari 2/3 dari hadis Al-Kafi dhaif. Padahal Al-Majlisi tergolong ulama hadis yang tidak terlalu ketat dalam menerima periwayatan hadis. Maka semua hadis itu haruslah tunduk pada metode penelitian sanad.

Kemudian, kita harus meneliti isi dan apa yang dapat dipahami dari hadis tersebut (dilalah). Jika ia bertentangan dengan hukum akal yang jelas dan pasti, maka ia tidak bisa diterima, seperti hadis yang menerangkan tentang kebendaan (tajsiym) Allah Swt. Selanjutnya hadis yang dapat diterima harus yang tidak bertentangan dengan yang sudah masyhur, seperti yang disabdakan oleh Imam Ali as atau salah seorang Ahlulbait yang lain, “Hendaklah kalian mengambil hadis yang telah masyhur di kalangan kalian dan tinggalkanlah yang tidak demikian (ganjil/ syadz).” Jadi, hadis yang isinya terkesan menyalahi yang sudah masyhur, minimal harus diragukan kabsahannya.

Setiap yang masyhur, serta menjadi kesepakatan di dalam banyak hadis shahih dan di kalangan ulama bahwa Ahlulbait menolak segala bentuk penghormatan yang terkesan berlebihan (ghuluw) mereka selalu menjelaskan, bahwa diri mereka adalah hamba-hamba Allah yang saleh tidak pernah melanggar perintah Allah (maksiat), selalu mengajak kepada sikap wara’ dan kasih sayang sesama. Maka, segala sesuatu yang melebihi hal itu, haruslah ditolak, apalagi jika sanad hadisnya dhaif atau merupakan ucapan seorang ulama yang berangkat dari sisi emosional belaka. Apalagi sekedar untaian para penyair. Imam Ali bersabda, “Celaka dua golongan; yang belebihan dalam mencintaiku dan yang berlebihan dalam membenciku.” Ada seorang yang datang menemui Imam Ja’far Shadiq dan mengatakan kepadanya bahwa ada seseorang yang meyakini bahwa dirinya tidak perlu beramal karena kecintaan kepada Imam Ali bin Abi Thalib telah menggugurkan segala kewajiban dan amal baik. Imam Ja’far Shadiq berkata kepadanya, “Apakah taklif Imam Ali digugurkan darinya sehingga orang lain yang mencintai juga demikian? Jika Imam Ali sendiri tidak demikian, apalagi orang lain yang hanya berdalih telah mencintainya? Itu semua adalah ghuluw dan penyimpangan.”

S : Anda salah seorang murid Syahid Muhammad Baqir As Sadr, adakah pandangan khusus atau praktik khusus yang beliau contohkan kepada kita di dalam masalah ini (persatuan umat)?

T : Sebenarnya apa yang kami kemukakan adalah intisari dari pandangan para guru kami, Sayyid Burujurdi, imam Khomeini dan lebih khusus yang mulia Alm. Sayyid Muhammad Baqir As Sadr, sebagai bukti atas hal itu, beliau melarang bukunya yang membahas Fadak untuk dicetak dengan dalih bahwa beliau menuliskannya ketika berusia masih sangat belia dan kondisinya belum stabil.

S : Terima kasih atas waktu yang telah diberikan, khususnya sumbangsih pemikiran-pemikiran YM yang sangat berharga bagi kami semua dan jangan lupa mendoakan kami!

T: Saya akan mendoakan kalian dan semua muballigh agar Allah memberikan taufik-Nya untuk menyebarkan ajaran Ahlulbait as. Sebagaimana saya selalu berdoa untuk kemakmuran dan kejayaan Indonesia. Terakhir saya berharap kalian pun tidak lupa mendoakan saya.

Revolusi Islam Iran dan Persatuan Dunia Islam


Revolusi Islam Iran dan Persatuan Dunia Islam

Dalam beberapa hari ini bangsa Iran sedang merayakan kemenangan Revolusi Islam dan berdirinya Republik Islam Iran. Namun demikian sesungguhnya perayaan kemenangan ini tidak terbatas bagi bangsa Iran saja, melainkan juga bagi dunia Islam, karena gerakan besar ini membawa misi mengajak seluruh warga dunia untuk berjalan ke arah spritualitas dan mengenyahkan segala bentuk ketidakadilan di muka bumi.

Revolusi Islam Iran memiliki esensi budaya yang komprehensif yang dapat mempengaruhi seluruh budaya di dunia. Sebab, kejayaan revolusi Islam merupakan kemenangan ajaran Ilahi di hadapan budaya-budaya buatan manusia, yang malah akan membawa manusia kepada kehancuran, antara lain budaya liberalisme dan materialisme. Pemikiran Ilahiah yang diimplementasikan oleh Revolusi Islam Iran adalah pemikiran yang mengajak dunia Islam untuk menuju kemuliaan dan kemapanan Islam.

Revolusi Islam Iran meneladani pemerintahan Rasulullah Muhammmad Saww, yang mempunyai serangkaian spesifikasi tersendiri, antara lain menyerukan spirit keimanan dan spritual, menerapkan keadilan, mewujudkan kemuliaan dan kemapanan, menghargai ilmu dan ma’rifat, menjadikan masyarakat sebagai landasan, serta menjunjung perjuangan di jalan kebenaran. Imam Khomeini sebagai pemimpin revolusi ini, selain memposisikan persatuansebagai strategi untuk meraih kemenangan, juga menjadikannya sebagai titik sentral dalam gerakannya.

Dalam perjuangannya, Imam Khomeini membidik pusat-pusat kefasadan sebagai sasaran utamanya dan menitikkan perhatian terhadap perilaku arogan yang memberangus kebebasan. Imam Khomeini juga menilai persatuan dan persaudaraan sebagai kenikmatan dari Allah Swt yang luar biasa. Beliau berkata, “Persaudaraan, kesamaan langkah, dan rasa sehati merupakan kenikmatan besar dari Tuhan. Rasa ini harus hidup di tengah-tengah ummat Islam. Untuk menumbuhkan rasa persatuan dan persaudaraan itu, semua bangsa muslim berkewajiban menghindari segala perpecahan dan biang perselisihan. Selain itu, semua bangsa juga berkewajiban meleburkan perbedaan-perbedaan kecil demi persatuan.

Persatuan adalah kenikmatan dari Allah dan semua muslim harus berusaha melindungi nikmat ini agar tidak tercabut dari tengah dunia Islam. Dalam Surat Ali Imran ayat 103, Allah SWT berfirman, “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hati-hatimu lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara…”

Tak bisa dipungkiri, masyarakat selalu diwarnai dengan perbedaan. Misalnya, perbedaan dalam aspek pengetahuan merupakan hal yang wajar terjadi di kalangan para pakar. Di antara dua orang pemikir sangat mungkin terjadi perbedaan pendapat dalam hal-hal yang spesifik. Karena itu, kita bisa membagi dua bentuk perbedaan, yaitu logis dan tidak logis. Perbedaan yang logis dapat meningkatkan kemajuan pemikiran dan ilmiah dalam konteks persaingan yang konstruktif. Akan tetapi, sayangnya, perbedaan yang seringkali terjadi di tengah kaum muslimim sepanjang sejarah sarat dengan tendensi untuk mencapai kekuasaan dan kepentingan, dan hal ini dikategorikan sebagai perbedaan yang tak logis.

Pada prinsipnya, Islam sama sekali tak menghendaki para pemikir mencapai kesamaan konklusi. Islam selalu menekankan umatnya agar terus berusaha membahas masalah dan mengambil langkah yang besar. Sikap jumud dan tidak mau melakukan evaluasi atau eksplorasi dalam dunia ilmu justru ditentang oleh Islam. Itulah sebabnya Imam Khomeini selalu mengajak para pemikir Islam untuk menghindari segala bentuk fanatisme yang tak logis. Menurut Imam Khomeini, bimbingan Islam telah melahirkan para pemikir besar seperti Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rushd, Maulavi, dan Sadrul Muta’alihin yang menyumbangkan pemikiran besar mereka di bidang ilmu bumi, ketuhanan, astronomi, matematika, kimia, atau kedokteran. Di bidang fiqih, para pakar fiqih baik Sunni maupun Syiah membahas berbagai masalah agama dengan sudut pandang masing-masing, dan mereka saling berbeda pandangan dalam sebagian masalah. Namun, perbedaan pandangan di antara dua madzhab ini sama sekali tak boleh menimbulkan konfrontasi yang membahayakan.

Dalam rangka mengajak ummat Islam untuk mewujudkan persatuan, Imam Khomeini selalu mengingatkan bahwa ummat Islam harus memperhatikan persamaan, bukan mencari-cari perbedaan. Beliau mengatakan, “Kami tak berharap tak mempunyai musuh, dan kami juga tak berharap bahwa musuh tak melakukan permusuhan. Akan tetapi kami mengharapkan sesuatu dari kami sendiri, bahwa kami harus mampu mencegah musuh dan permusuhan dengan penuh harapan, keberanian, tekad, persatuan dan tawakal kepada Allah Swt.”

Imam Khomeini menilai deklarasi pemerintahan Islam sebagai konsekuensi yang harus ditempuh untuk persatuan ummat Islam. Melalui pemerintahan Islam, kemerdekaan dan independensi dikumandangkan bagi seluruh ummat Islam. Imam Khomeini menentukan hari Jumat terakhir di bulan Ramadhan sebagai Hari Al-Quds Dunia untuk melawan Rzim Zionis Israel. Selain itu, beliau juga selalu menegaskan urgensi persatuan untuk melawan musuh. Pada prinsipnya, Imam Khomeini dalam seruannya menjadikan masjid-masjid sebagai benteng persatuan dan tempat berkumpulnya ummat Islam. Masjid-masjid dapat bergerak bak media dunia, yang menyampaikan pesan persatuan Islam kepada seluruh penjuru dunia.

Kini, dunia Islam berada dalam kondisi yang sensitif dan krisis. Kekuatan-kekuatan adidaya dan imperialis dunia semakin gencar dalam usaha mereka menjajah, menzalimi, dan menekan umat Islam. Salah satu cara yang mereka lakukan adalah dengan memecah belah umat Islam dan memicu sentimen antar mazhab. Akan tetapi, Revolusi Islam Iran yang saat ini berada di bawah pimpinanan Ayatullah Udzma Ali Khamenei terus gigih mengibarkan bendera persatuan dan mengingatkan ummat Islam agar mewaspadai makar-makar musuh.

Pada saat yang sama, di dunia tengah muncul gelombang kecenderungan kepada Islam. Setiap tahunnya ribuan orang di Barat meyakini kebenaran Islam dan memeluk agama Ilahi ini. Selain itu, kemajuan pesat bangsa Iran dalam berbagai bidang juga telah menjadi bukti bahwa dengan berpegang kepada Islam dan berlepas diri dari ketergantungan kepada Barat, umat Islam juga mampu meraih kemajuan. Hal ini tentu saja menimbulkan kekhawatirkan AS dan Barat. Mereka mencemaskan munculnya gerakan semacam Revolusi Islam Iran yang seperempat abad lalu berhasil mencegah upaya Barat untuk menguasai bangsa Iran. Itulah sebabnya, AS dan sekutu-sekutunya berusaha sekuat tenaga untuk mengucilkan Iran dan menerapkan politik devide et impera sebagai strategi untuk menguasai kawasan Timur Tengah dan negara-negara Islam.

Menyikapi masalah ini, Pemimpin Tertinggi Revolusi Islam Iran, Ayatullah Ali Khamenei, menyatakan, “Saat ini, ummat Islam, baik lapisan politisi, budayawan, ruhani baik lapisan masyarakat bawah harus lebih waspada dari sebelumnya. Kenalilah makar-makar musuh, dan kemudian hadapilah mereka… Para ulama tidak seharusnya bersikap diam dalam menghadapi perselisihan antar madzhab, dan para cendekiawan juga tak boleh mengabaikan harapan para pemuda. Para politisi dan pejabat harus mendengarkan aspirasi rakyat dan menjadikan rakyat sebagai poros pengabdian. Negara-negara Islam harus mengokohkan persatuan di antara mereka dan harus menggunakan kekuatan ini untuk menghadapi ancaman negara-negara arogan.”